28 Mei 2009

Memahami Keagungan Kursy Allah

Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk)Nya, tidak mengantuk dan tidak pula tidur. MilikNya segala apa yang ada di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa seizinNya. Allah Mengetahui apa-apa yang ada di hadapan dan di belakang mereka. Sedangkan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakiNya. Kursi Allah luasnya meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya dan adalah Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung.


Ayat di atas yang masyhur dengan nama ayat kursi terdapat di dalam surah Al-Baqarah ayat 255. Penamaan ayat ini bukan ijtihad para ulama, tetapi Rasulullah sendiri yang menamakannya. Tersebut dalam salah satu riwayat bahwa ketika Rasulullah ditanya oleh salah seorang sahabatnya tentang ayat apa yang paling agung dari kitabullah? Beliau menjawab, Ayat Kursi, kemudian Rasulullah membaca ayat ini. (Hadits riwayat Imam Ahmad dan Nasai).

Ayat kursi sangat kental dengan nuansa akidah, terutama akidah kepada Allah swt, yaitu akidah akan sifat-sifat Allah yang berbeda dengan sifat seluruh makhlukNya. Kejelasan akan sifat-sifat Allah sangatlah penting untuk menghindari dominasi khurafat, mitos dan syubhat yang kerap kali menutupi hati dan pandangan manusia.

Menurut Ibnu Athiyah, yang dimaksud dengan kursi, berdasarkan hadits-hadits Rasulullah, adalah makhluk Allah yang agung yang berada di antara Arsy Allah. Penyebutan kata kursi yang secara fisik inderawi bisa digambarkan layaknya kursi tempat duduk manusia, begitu juga ungkapan dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya sememangnya menurut Sayyid Qutb adalah untuk memudahkan manusia memahami dan menggambarkan keagungan dan luasnya kekuasaan Allah yang meliputi langit dan bumi, Luasnya Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Ungkapan dalam kalimat deskripsi inderawi seperti ini akan memberikan kesan yang kuat dan mendalam serta mantap di dalam hati mengenai hakikat yang dimaksud.

Berdasarkan analisa bahasa yang dikemukakan oleh Az-Zamakhsyari bahwa penyebutan sifat-sifat Allah yang terkandung dalam ayat kursi ternyata tidak menggunakan kata penghubung (wau athaf) yang biasa digunakan dalam susunan kalimat bahasa Arab untuk menghubungkan antara satu kata dengan kata lainnya. Redaksi yang demikian ini menunjukkan kekuatan bayan (penjelasan) pada seluruh sifat-sifat Allah yang tersebut dalam ayat ini. Paling tidak terdapat empat penjelasan tentang sifat-sifat Allah dalam ayat kursi, yaitu: pertama, penjelasan akan keesaan Allah dalam mengatur seluruh makhlukNya. Kedua, penjelasan bahwa Allah adalah Raja atas seluruh makhluk yang diaturNya. Ketiga, penjelasan akan luasnya ilmu Allah yang mencakup seluruh makhlukNya, sampai kepada mereka yang diridhoi dan berhak mendapat syafaatNya dengan mereka yang tidak berhak mendapatkannya. Dan keempat, penjelasan tentang pengetahuan Allah akan seluruh maklumat yang tersebar di langit dan bumi.

Wajar jika Ibnu Katsir menyimpulkan bahwa ayat kursi merupakan ayat yang paling agung dalam Al-Quran dan memiliki kedudukan dan keutamaan yang banyak. Di antara keutamaan ayat kursi seperti yang ditegaskan dalam beberapa hadits Rasulullah diantaranya: pertama, ayat kursi merupakan pelindung dan benteng dari godaan syetan. Kedua, nilai ayat kursi setara dan sebanding dengan seperempat Al-Quran.

Sebuah kisah yang diutarakan oleh ayah Abdullah bin Ubay bin Kaab menjadi bukti nyata akan keampuhan ayat kursi sebagai pelindung. Ia menceritakan bahwa pada suatu malam ketika melihat-lihat kebun kurma miliknya, tiba-tiba ia terserempak dengan seekor hewan yang mirip dengan seorang anak yang baru menginjak usia baligh. Maka ayah Abdullah bin Ubay bin Kaab mengucapkan salam yang langsung dijawab oleh anak itu. Kemudian dengan nada penasaran ia bertanya, Siapakah kamu? Apakah kamu dari golongan jin atau manusia? Dengan singkat anak itu menjawab, Dari golongan jin. Akhirnya ia meminta jin itu untuk mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Ternyata ketika disentuh, tangannya seperti tangan anjing dan juga bulunya. Maka aku bertanya, Apakah demikian jin diciptakan? Jin itu menjawab, Bahkan ada yang lebih hebat dari ini. Apakah yang mengundang kamu datang kemari? Ayah Abdullah bin Ubay kembali bertanya. Telah sampai berita kepadaku bahwa engkau adalah seorang yang sangat dermawan. Aku ingin mendapatkan sedekahmu. Jika memang demikian, aku ingin bertanya, apa yang dapat melindungi kami dari godaanmu? Pinta Abdullah bin Ubay. Dengan tegas, jin itu menjawab, Ayat kursi. Keesokan harinya, Ayah Abdullah bin Ubay menceritakan kepada Rasulullah apa yang dialaminya tadi malam. Maka Rasulullah bersabda, Apa yang dikatakan oleh jin itu benar, tetapi dia tetap makhluk yang kotor. (Diriwayatkan oleh Al-Hakim).

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dijelaskan kedudukan ayat kursi yang senilai dengan seperempat Al-Quran. Anas bin Malik menceritakan bahwa Rasulullah pernah bertanya kepada salah seorang sahabatnya, Wahai fulan, sudahkan kamu menikah? Sahabat itu menjawab, Saya tidak memiliki apapun untuk menikah. Rasulullah bertanya kembali, Bukankah bersama engkau (hafal) Al-Ikhlash? Ia menjawab, Benar wahai Rasulullah. Rasulullah menjelaskan, Ia sebanding dengan seperempat Al-Quran. Rasulullah terus bertanya pertanyaan yang sama sampai terakhir Rasulullah bertanya, Bukankah bersama engkau (hafal) ayat kursi? Ia menjawab, Benar ya Rasulullah. Maka Rasulullah bersabda, Ia senilai dengan seperempat Al-Quran.

Keagungan ayat kursi semakin jelas karena ayat ini secara terperinci mengandungi penjelasan akan sifat-sifat dzat Allah; dari sifat Wahdaniyah yang dinyatakan oleh Allahu La Ilaha Illah Huwa, Sifat Maha Hidup yang berkekalan (Al-Hayyu), sifat Maha Kuasa dan berdiri sendiri (Al-Qayyum), bahkan sifat Qayyum Allah diperkuat dengan penafian akan segala yang mengarah kepada kelemahan, seperti Tidak mengantuk dan tidak tidur. Begitu juga dengan sifat memiliki yang berkuasa untuk melakukan apa saja terhadap makhluk yang dimilikiNya. Sifat iradah (berkehendak) yang ditunjukkan oleh kalimat mandzalladzi yasyfau, dan iradah Allah di sini adalah pada urusan yang paling besar, yaitu syafaat yang tidak dimiliki oleh siapapun kecuali atas izin Allah swt. Juga sifat Ilm yang dinyatakan oleh ya'lamu ma baina.. Terakhir sifat-sifat dzatiyyah Allah ditutup dengan sifat yang menunjukkan ketinggian dan keagunganNya, 'Wahuwal Aliyyul Adzim. Ibnu Abbas menuturkan, Yang sempurna dalam ketinggian dan keagunganNya. Inilah sifat penutup bagi ayat kursi untuk menetapkan ke-Esa-an Allah pada kebesaran dan ketinggianNya. Alif Lam Marifah yang digunakan dalam kedua sifat terakhir Al-Aliyyu Al-Adzimu sesungguhnya untuk membatasi sifat itu hanya milik Allah Yang Maha Suci, tanpa ada yang bersekutu denganNya. Bahkan tidak ada seorang hamba pun yang berusaha mencapai posisi kebesaran dan ketinggian seperti ini melainkan Allah akan mengembalikannya kepada kehinaan dan kerendahan di akhirat kelak Allah swt berfirman, Negeri akhirat itu Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi.” (Al-Qashash: 83)

Demikianlah ayat kursi hendaknya dijadikan prinsip dan acuan dalam berinteraksi dengan Allah dan dengan seluruh makhlukNya. Hanya Allah Pemilik segala sifat kesempurnaan, sedangkan manusia tidak layak memakai pakaian kebesaran Allah. Keyakinan yang mendalam akan seluruh sifat-sifat Allah akan mampu melahirkan perasaan khauf (takut) akan murka dan azab Allah jika kita melanggar aturanNya. Begitu juga akan mampu melahirkan sifat raja (penuh harap) kepada kasih sayang dan rahmat Allah.

Kandungan semua ayat ini mengandung beberapa keistimewaan, bahkan tiap kata-katanya. Diantara yang paling penting dan besar adalah:

a. Bahwa ayat Kursi merupakan ayat yang paling agung di dalam Kitabullah secara umum karena ia memuat banyak sekali asma-asma Allah dan sifat-sifat-Nya.

b. Kesempurnaan Qayyûm-Nya, Qudrat-Nya, keluasan kekuasaan dan keagungan-Nya sehingga hal ini mengajak kita untuk mentadabburi dan merenungkannya.

c. Bahwa tidak terselubung dan luput satupun yang tersembunyi di muka bumi ataupun di langit oleh Allah Ta’ala “Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka.” Hal ini mengandung konsekuensi keharusan seorang Muslim untuk menghayatinya di dalam seluruh kehidupannya.

d. Menetapkan adanya syafa’at dan bahwa ia tidak akan dapa diraih kecuali dengan beberapa persyaratan, diantaranya idzin dan ridla-Nya terhadap hal yang disyafa’ati, “Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya.”

0 komentar:

  © Blogger templates 'Sunshine' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP